POLISI KETERLALUAN ?

rhoma

Tanya : Apa sih bang Haji yang terlalu ?

Rhoma : Ini loh, foto polisi di bawah ini :

image0017

image00225

image00319

image00414

(Sumber : kiriman email dari Natalia)

Foto-foto ini sudah banyak beredar dari email ke email lain dan juga ada di beberapa blog. Pihak petinggi POLRI yang sekarang sedang gencar-gencarnya menertibkan para anak buahnya yang tidak disiplin, perlu mengklarifikasi kebenaran foto ini.

Jika foto-foto ini tidak benar (hasil rekayasa), ya harus di “clear”kan.  Jika benar adanya, tentunya POLRI harus menertibkannya demi citra polisi yang baik.

————————

WAJAH POLISI KITA
sutanto

Suara Karya–online, Selasa, 29 April 2008.

POLISI telah banyak berubah. Itu harus diakui. Buktinya sejak Jenderal Polisi Sutanto dilantik sebagai Kapolri pada tanggal 8 Juli 2005, banyak hal yang membuat polisi mendapat pujian. Polisi di bawah “nakhoda” barunya itu tidak hanya dikenal sukses dalam memerangi terorisme, tetapi juga dalam “berburu” koruptor, serta berbagai upaya penegakan hukum.

Terkait narkoba, tidak hanya pemakai yang berhasil digaruk, tetapi bandar, pengedar, sampai kurirnya sudah tak sedikit yang harus meringkuk di penjara. Begitu pula dengan yang berurusan dengan illegal logging, illegal fishing, juga terus diburu. Yang berkaitan dengan judi bahkan sudah sejak awal diberangus, entah itu cukong judi, para backing, sampai pada kelas pengedar judi togel.

Bukti bahwa “wajah” polisi Indonesia sudah lama berubah sudah terlihat nyata. Namun, akibat wajah “kelam” masa lalu, membuat pamor polisi kita sulit lepas dari dosa-dosa masa silam, ditambah lagi masih adanya oknum-oknum polisi yang berbuat tak terpuji, seperti polisi yang terkait penyalahgunaan narkoba, polisi yang masih saja melakukan praktik “delapan anam” (denda damai) dengan pengendara kendaraan bermotor yang dinilai salah dalam berlalu-lintas di jalan raya, serta oknum-oknum penerima suap di berbagai bidang tugas lainnya.

Perbuatan oknum-oknum itu membuat penilaian terhadap polisi di negeri ini tetap miring. Karena itu, bukan hal asing bagi banyak orang menjadikan polisi sebagai anekdot berkonotasi miring. Bahkan tak sedikit pula memberi contoh nyelekit tentang polisi, semisal ucapan yang menyatakan bahwa hanya ada tiga polisi jujur-yang tak pernah berbohong-dalam sejarah kepolisian Indonesia, pertama mantan Kapolri Hugeng Imam Santoso (almarhum), kedua patung polisi, dan ketiga polisi tidur.


Tentu saja contoh di atas jauh dari kebenaran. Saat ini pasti masih atau sudah banyak polisi-polisi jujur. Setidaknya berusaha hidup jujur. Namun, tak dapat dimungkiri, akibat ulah oknum-oknum polisi “nakal”– entah itu polisi yang terkesan lebih suka menjebak pengendara atau dikenal dengan polisi “prit jigo, oknum polisi yang menjadikan tindak kriminal sebagai “ladang”, oknum yang diduga melakukan pemerasan, dan sampai pada oknum-oknum yang telah menjadi “budak” narkoba-membuat profesi polisi masih sering dianggap tidak terpuji.

Karena itu, tak mengherankan ketika kini mencuat ide memberi bonus Rp 10.000 kepada polisi (lalu-lintas) setiap melakukan tilang terhadap pengendara yang melakukan kesalahan, banyak yang tak yakin cara itu efektif menekan polisi tetap melakukan praktik “delapan anam” di jalan raya.

Alasan gaji kecil, tidak ada uang bensin, atau adanya (dugaan) keharusan “setor” ke atasan, diperkirakan banyak pihak sulit ditutupi dengan “hadiah” Rp 10.000,- sekali melakukan tilang tersebut. Apalagi bonus itu tidak berlaku umum untuk semua anggota polisi, atau hanya menguntungkan polisi yang bertugas di jalan raya. Itu diperkirakan justru dapat menimbulkan kecemburuan sosial.

Kebiasan menikmati “upeti” dari hasil “menjebak” pengendara diperkirakan tidak akan bisa diredam dengan bonus tilang tersebut. Apalagi jika nantinya untuk mengurus bonus yang berasal dari dana APBN itu melalui proses jalan berbelit pula. Atau bisa pula terjadi hal sebaliknya, di mana polisi berlomba mencari “korban” untuk ditilang, meski harus melakukan jebakan dan cara-cara tak terpuji.

Rasanya wacana yang dilontarkan pihak Mabes Polri ini bukan solusi terbaik untuk menutupi minimnya gaji polisi. Citra polisi yang masih dinilai buruk oleh kebanyakan masyarakat harus dibenahi secara menyeluruh, dari hulu ke hilir, atau sejak dari atasan sampai ke petugas paling bawah. Atasan harus memberi contoh kepada bawahan, bukannya “memanfaatkan” bawahan untuk mencarikan “setoran”.

Jika memang ingin memperbaiki citra polisi secara keseluruhan, terapinya harus dilakukan secara menyeluruh pula. Bukannya hanya berlaku untuk suatu bidang atau kelompok. Salah satu cara, misalnya, adalah menaikkan gaji yang berlaku untuk seluruh anggota. Namun, itu tentunya bukan merupakan satu-satunya komponen, tetapi harus didukung oleh disiplin dan kejujuran yang ditanamkan sejak perekrutan. Punishment dan reward harus jelas dan berlaku umum.***

SUMBER :

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=198489

KEPALA POLRI :


Polisi Tegas Humanis untuk Beri Rasa Aman

hendarso

Jakarta, Kompas Sabtu, 6 Desember 2008 – Dalam dua bulan pertama masa jabatannya, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri membuat gebrakan yang cukup menyedot perhatian publik.

Gebrakan ke luar dilakukan melalui operasi kejahatan jalanan (operasi preman), sedangkan gebrakan ke dalam dilakukan dengan menindak delapan perwira tinggi yang pernah menjabat di Kepolisian Daerah Riau karena dianggap bertanggung jawab terhadap perjudian. Gebrakan itu, selain tetap dikritik, juga diapresiasi termasuk oleh kalangan DPR, dengan catatan hal tersebut akan dilakukan secara konsisten.

Dalam percakapan khusus dengan Kompas, didampingi Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, Jumat (5/12), Bambang menyampaikan latar belakang kebijakannya.

Kepala Polri mengatakan, hal itu dilakukan demi menggenjot reformasi kultural Polri, yang selama ini dianggap jalan di tempat, tanpa perubahan berarti. Melalui gebrakan itu, Bambang juga menargetkan untuk membentuk wajah Polri yang tegas dan humanis. Dengan demikian, rasa aman dan nyaman masyarakat akan lebih terjamin.

Berikut ini adalah petikan percakapan tersebut :

Bagaimana sebenarnya upaya untuk membentuk polisi yang humanis tersebut ?

Dalam setiap kesempatan di DPR, misalnya, perubahan kultur kita dinilai jalan di tempat. Ini kita evaluasi. Intinya, menurut saya, mulai dari lembaga pendidikan di Polri yang harus dibenahi. Tanpa pembenahan di sini, masalah kultur (negatif) tidak akan pernah selesai.

Proses rekrutmen, mau sekolah, mau mutasi, kalau ada yang coba-coba memungut uang, laporkan asalkan laporan itu bukan fitnah dan bisa dibuktikan, maka akan diproses di pengadilan umum. Saya tidak akan tolerir betul. Supaya ada efek jera, kalau tidak susah.

Polisi tidak bisa lagi bersikap sombong, arogan. Masyarakat tidak bersimpati, kebijakan apa pun yang kita buat omong kosong. Kita harus bisa mengajak masyarakat, dengan kedudukan yang sejajar. Di London, polisi begitu dicintai rakyatnya, disebut bobby, kenapa di Indonesia tidak bisa ?

Bagaimana konkretnya hal itu dilakukan sistematis ?

Semua pejabat tinggi setingkat kepala polda dan pejabat di Mabes Polri harus menandatangani pakta integritas yang dievaluasi per tiga bulan oleh gugus kendali mutu di bawah Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum). Setiap tiga bulan, setiap polda dipotret tingkat pengaduan masyarakat dan keluhan terkait penyimpangan aparat. Kalau merah, dalam tiga bulan pertama harus diusahakan kuning, lalu hijau. Jika tiga bulan kedua masih merah, diberi warning. Tiga bulan ketiga masih merah juga, terpaksa (pejabatnya) diganti.

Ini bukan sesaat saja untuk sekadar popularitas. Soal di Riau, misalnya, Irwasum sudah mengumumkan kepala poltabes yang dicopot. Ini bukan berarti saya melindungi yang perwira tinggi, tidak. Supaya ke dalam ada efek jera. Mereka tidak membekingi perjudian, tetapi bertanggung jawab dalam konteks manajerial. Saya juga tidak ingin organisasi saya ini goyang.

Bagaimana menjaga keberlanjutan operasi preman, terlebih di tahun mendatang potensi masalah menjelang pemilu dan dampak sosial krisis global cukup besar ?

Operasi preman ini tidak berarti nanti selesai. Kehadiran polisi di wilayah yang rawan harus ada pos yang mobile. Dengan begitu, masyarakat melihat, tahu, dan merasakan kehadiran polisi. Tujuan utama saya melalui operasi kejahatan jalanan (preman) ini adalah masyarakat merasakan polisi ada dan memberi sesuatu.

Apabila pengaduan masyarakat tidak direspons, pejabat terdepannya yang kami tegur, bukan polisi yang di lapangan. Kita harus begitu ke dalam, tidak bisa lagi menolerir.

Apa yang dirasakan masyarakat harus direspons. Orang merasa tidak nyaman naik mobil ke tempat tertentu dicongkel, ada paku, pedagang kecil di pasar dipalak. Hal-hal ini harus ditindak kalau kita mau memberikan rasa aman kepada masyarakat. Ini target saya.

Bagaimana dengan terorisme, terutama setelah kejadian di Mumbai yang polanya tidak lagi peledakan bom ?

Prinsipnya kita harus tetap hati-hati. Masyarakat curiga sedikit sebaiknya lapor. Kejadian seperti di Mumbai harus bisa dideteksi secara dini sehingga perlu sinergi antara polisi dan masyarakat.

Aparat Polri dan TNI kerap bentrok. Apa akar persoalannya dan cara mengatasinya ?

Kami sudah komitmen bersama dengan Panglima TNI. Hingga komandan di tingkat bawah dengan kepala polres, kepala polda sudah berkomitmen. Jangan sampai terjadi lagi. Kalau terjadi, komandan langsung turun lapangan segera supaya tidak melebar. Dibuat kegiatan bersama yang bisa membuat situasi bersahabat. Pilar NKRI itu ada di kita, TNI-Polri. Kalau kita ini potretnya seperti itu, bagaimana dengan masyarakat ? (BDM/KSP/SF).

JUJURNYA PAK HOEGENG

Oleh : Agus Supriyatna

hoegeng

21-Jul-2007, 04:34:11 WIB – [http://www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia Adakah dijaman yang tergesa tersedia jeda ? Sedikit berhenti menginterupsi waktu. Mengajak kembali ingatan menandai yang silam.  Dari jejak dibelakang, kita mengenali tempat berhenti, semacam ruang baca dan juga halte sejarah. Berhenti sejenak, luangkan waktu membaca sejarah. Coba buka catatan kusam kita. Buka lembaran yang jarang di eja. Sejarah dari orang-orang yang ajeg sederhana. Bukan melihat monumen-monumen kaku yang terasa congkak di sudut pusat kota.

Bukankah sejarah tidak melulu soal catatan peristiwa tapi juga berisi kisah yang personal. Bahkan dari yang begitu pribadi, kisah lebih terasa karib untuk dibaca dan di renungkan. Mungkin semacam contoh. Mungkin juga sebentuk bahan pelajaran. Ini penting untuk sekarang ini. Ini penting untuk kita, terutama pejabat negara. Ini penting untuk Indonesia.

Kisah Jenderal Hoegeng Imam Santoso, almarhum, salah satunya. Kenapa Hoegeng ? Mungkin karena kita butuh sesuatu yang pernah tercatat ajeg. Ini penting untuk hari ini ditengah hiruk pikuk ketidakpastian sikap. Jenderal ringkih kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921, pantas di ulang tanpa lelah sebagai sebuah contoh. Nama Hoegeng itu sendiri, sebenarnya cuma nama sebutan fisik.

Waktu kecil Pak Hoegeng, dipanggil bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi bugeng, akhirnya berubah jadi hugeng. Nama aselinya sendiri cuma Imam Santoso yang dipilihkan ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah, kepala polisi, dan Soeprapto, ketua pengadilan.

Mereka menjadi 3 sekawan penegak hukum yang jujur, professional.  Ketiganya inspirasi bagi Hoegeng kecil. Bahkan  karena kagum pada Ating-yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman, Hoegeng kecil ingin jadi polisi.

Memang sampai tua, Pak Hoegeng tidak bugel alias gemuk. Pak Hoegeng tidak bertubuh tambun subur berglambir lemak. Tubuhnya, bahkan lebih terlihat ringkih ketimbang tegap, apalagi tambun. Tapi jangan tanya soal ketegasan. Pak Hoegeng memegang itu sebagai prinsip hidup. Lewat tangannya, keadilan terasa lebih bisa diraba.

Jabatan bagi Hoegeng bukan soal tuah untuk diri sendiri. Bukan pula soal pamrih berlebih. Jabatan bagi pak Hoegeng adalah soal kadar pengabdian pada khalayak. Dia tahu itu tidaklah lempang. Kekuasaan pastinya juga berbicara syahwat. Sekali tersingkap, mungkin yang dekat akan terjerat. Dia tahu itu, oleh karena itu Pak Hoegeng yang sederhana menjaga jarak.

Kisah tentang toko kembang

Ada sebuah cerita soal itu. Waktu itu mendiang Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum pelantikannya, Pak Hoegeng meminta istri, Ibu Merry agar menutup segera toko kembang miliknya yang terletak di sebuah sudut Jalan Cikini. Padahal toko kembang itu, salah satu penopang tambahan kebutuhan hidupnya. Sungguh kontras memang. Jabatan bagi Pak Hoegeng bukan soal lahan bancakan. Jabatan hanya sebagai lahan pengabdian dan ibadah, titik !

Kembali ke soal toko kembang. Waktu itu sang Istri sedikit protes dan bertanya, “Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Kepala Jawatan Imigrasi?” Pak Hoegeng menjawab kalem tapi tegas, “Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kita dan itu tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”

Jawaban itu, sungguh sangat mengharukan.  Sebuah sikap tegas yang dibarengi sikap sederhana. Padahal kalau berkenan, tinggal membalik tangan Pak Hoegeng kaya dari jabatan. Pelajaran yang begitu berharga tentang sikap anti nepotisme dari petinggi polisi yang dilahirkan di kota Batik, Pekalongan. Yang menarik sang istri kemudian menutup toko itu. Dia mengerti sikap tegas suaminya. Dia paham Pak Hoegeng sangat keras menolak aji mumpung pangkat dan jabatan. Mungkin juga, karena itu Ibu Merry jatuh cinta. Mungkin…

Polisi  yang tegak berprinsip

Masih dari kisah jabatan Kepala Jawatan Imigrasi. Karena jabatan itu, Pak Hoegeng mendapat jatah mobil dinas keluaran baru. Tapi anehnya, dia masih bersikukuh dengan mobil dinas lawas, jatahnya saat masih di bertugas di kepolisian. Dia berkilah, mobil jip lawas dari Kepolisian  juga milik negara. Dirinya merasa cukup dengan itu selama masih layak dipergunakan dan tidak sertamerta karena jabatan, terus manja dan rakus. Soal aji mumpung jauh dari sifatnya. Apalagi mengail di air keruh. Pak Hoegeng jauh dari laku seperti itu.

Sebagai polisi, Pak Hoegeng adalah sosok tegas membaja. Polisi dimatanya adalah penegak hukum, titik ! Tidak ada kompromi. Tidak ada bagi-bagi hasil dibawah tangan. Apalagi soal salam tempel amplop berisi duit jual kasus. Karena sikap seperti itulah dia terpental dari jabatan elit kepolisian Indonesia yang di pegangnya antara 1968-1971.

Kala itu, Pak Hoegeng mengungkap kasus penyelundupan mobil kelas kakap yang dilakukan oleh Robby Cahyadi. Si pelaku di sebut punya kaitan dengan kalangan istana. Tapi betapa kecewanya, saat dia akan melaporkan itu ke Presiden, sang buruan sedang asyik bercengkrama di Cendana. Ternyata benar, kekuasaan kongkalikong dengan keculasan. Jelas karena itu Sang Jenderal murka. Sejak saat itu, pupus sudah kepercayaan kepada kekuasaan. Pun pada pucuk pimpinan negara bernama Soeharto.

Karena itu pula, Pak Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri sebelum masa jabatannya habis.  Tepatnya 1970, Soeharto mencopot jabatan itu dari pundak Pak Hoegeng dengan alasan regenerasi. Tapi aneh, penggantinya, Muhammad Hassan. Justru lebih tua darinya. Artinya dia menyadari, kekuasaan sudah tidak suka sepak terjang membenahi korps kepolisian. Sebagai penghibur, Pak Hoegeng ditawari jabatan sebagi duta besar di Belgia. Tapi Pak Hoegeng menampik.

Dia menukas tegas soal penolakan tawaran tersebut, “Saya tidak punya keterampilan basa-basi seorang duta besar!”. Mungkin penolakan tersebut sebentuk resistensi yang tumbuh menguat dalam dirinya. Karena selepas itu, dia mulai mengambil posisi bersebrangan dengan kekuasaan. Dia mencoba memberi batas semakin tegas dengan wajah kekuasaan. Bersama Jenderal (Purn) Nasution dan Proklamator Bung Hatta, dia aktif di Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Sebuah lembaga yang mencoba memuat suara lain diluar tubuh negara tentang bagaimana berkonstitusi  dengan suara hati nurani.

Sepertinya kejengkelan penguasa pada Pak Hoegeng yang tidak kunjung manut tidak juga hilang. Saking jengkelnya, ada cerita soal ini. Selepas pensiun Pak Hoegeng menyalurkan hobi menyanyi di TVRI lewat kelompok Hawaian Seniors. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian muncul larangan tampil bagi Pak Hoegeng di layar televisi plat merah tersebut. Pastinya Soeharto sudah sangat jengkel, maka setiap ruang rambah Pak Hoegeng coba disumbatnya. Pun untuk sekedar tarik suara.Tidak berhenti karena di sumbat dilayar kaca. Pak Hoegeng menempuh jalur lain.

Mulai dari Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok petisi lima puluh. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk penyelenggaraan kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi.

Keterlibatan di kelompok Petisi 50, berbuah cekal bagi Pak Hoegeng. Itu sepertinya biasa bagi Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia tersebut. Jenderal polisi yang dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), bahkan sering turun ke lapangan. Syahdan, Pak Hoegeng, lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), memimpin langsung operasi balapan liar di sekitar jalan Taman Soerapati, Jakarta, sekitar tahun 70an. Kepada anak buahnya dia berkata tegas, “Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!”

Kisah lainnya masih tentang ketegasan tanpa tedeng aling-aling. Ceritanya di kota Medan, seorang pejabat baru kepolisian bikin geger. Seorang Kepala Reskrim baru pindahan dari Jawa Timur, menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota itu memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, si aparat baru meradang karena di sogok. Kiriman itu bahkan dibuangnya di pinggir jalan. Kita pada akhirnya mencatat, siapa sosok nekad tersebut. Namanya Hoegeng Imam Santoso. Kelak nama itu kita kenang sebagai tonggak kejujuran  yang sederhana. Berbanggalah Kepolisian Republik ini, mempunyai tokoh komplet seperti Pak Hoegeng.

Bahkan saking sederhananya, lepas dari Medan, Pak Hoegeng kembali ke Jakarta. Karena belum dapat rumah tinggal, dia menumpang di garasi mertuanya di daerah Menteng. Padahal dia bekas Kepala Reskrim. Teramat langka memang sikap hidup seperti Pak Hoegeng. Beragam tugas pernah diemban, bapak yang dikarunia tiga anak tersebut diluar dari tugasnya sebagai polisi. Mulai dari Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965), Menteri Iuran Negara (1966-1967) dan Deputi Operasi Menpangak (1967-1968).

 

Jakarta, 14 Juli 2004

Tengah malam lewat setengah jam, Pak Hoegeng menghembus nafas terakhir. Setelah dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati karena stroke, penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan bagian lambung. Tuhan berkehendak lain. Kabar terpetik, Sang Jenderal pun mangkat di RSCM, Jakarta. Simbol keteladanan dan kejujuran Polri tersebut meninggalkan tanah air yang teramat dicintainya.

Kita menundukan kepala. Merunduk ke tanah sembari ingatan  terus mencatat. Yang datang pastinya dibatasi kepergian. Pun soal memiliki pasti ada interupsi soal kehilangan. Tengah malam lewat, tepatnya pukul  00.30 WIB, Jenderal sederhana itu pergi. Bahkan untuk pemakamannya, Pak Hoegeng mewanti-wanti, kelak kalau meninggalkan, dirinya tidak ingin dikebumikan di Kalibata, makam para pahlawan nasional.

Dirinya ingin dimakamkan di pemakaman biasa. Pada akhirnya, TPU Giritama, Desa Tonjong, Bojong Gede, Bogor, dipilih sebagai tempat peristirahatannya terakhir. Sekitar pukul 14.00 WIB, jenazah Jenderal ringkih menyatu dengan tanah. Sudah habis tugas kesejarahannya. Yang tertinggal mungkin cuma jejak. Mudahan-mudahan ingatan bangsa tidak dikalahkan lupa, bahwa bangsa ini pernah memiliki polisi yang tahu arti kejujuran. Selamat jalan Pak Hoegeng……..

hoegeng-2